Jurnal Republik
10 Januari 1967
Pelengkap Nawaksara
10 Januari 1967
Pelengkap Nawaksara
Hari ini, Presiden Soekarno menyampaikan secara tertulis Pelengkap Nawaksara kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Pelengkap Nawaksara disampaikan Soekarno menyusul permintaan (tepatnya: penolakan) MPRS terhadap pidato Nawaksara yang merupakan laporan pertanggungjawaban yang disampaikan Soekarno pada 22 Juli 1966.
Dalam pidato Nawaksara 22 Juli 1966, Soekarno menguraikan tiga pokok penjelasan yang berkaitan dengan peristiwa G-30 S: (a) keblingeran pimpinan PKI, (b) kelihaian subversi nekolim, dan (c) keberadaan banyaknya oknum-oknum yang “tidak benar”.
Dalam pidato Nawaksara 22 Juli 1966, Soekarno menguraikan tiga pokok penjelasan yang berkaitan dengan peristiwa G-30 S: (a) keblingeran pimpinan PKI, (b) kelihaian subversi nekolim, dan (c) keberadaan banyaknya oknum-oknum yang “tidak benar”.
Dalam NAWAKSARA, Soekarno berkali-kali menekankan pentingnya kewaspadaan terhadap bahaya kekuatan kontrarevolusi di dalam negeri dan bahaya kekuatan subversif kontrarevolusioner dari luar negeri. Soekarno menulis: “Kejadian-kejadian yang kita saksikan membuktikan bahwa kekuatan kontrarevolusi di dalam negeri (yaitu oknum-oknum yang ‘tidak benar’) sudah bersatu padu dengan kekuatan subversif kontrarevolusioner dari luar negeri (kelihaian subversi nekolim).”
Argumen Soekarno bahwa sedikit banyak G-30 S ikut ditunggangi dan direncanaan oleh kekuatan-kekuatan asing dinilai oleh mayoritas anggota MPRS sebagai upaya Soekarno menyelematkan PKI yang didakwa sebagai pelaku tunggalnya. Dalam nota penolakan Nawaksara, pimpinan MPRS menilai Nawaksara tidak lengkap menjelaskan peristiwa G-30 S. Soekarno juga dianggap terlalu melindungi PKI, apalagi Soekarno dinilai tak pernah secara eksplisit mengutuk peristiwa penculikan dan pembunuhan 6 perwira tinggi Angkatan Darat di Lubang Buaya.
Untuk menjawab semua itulah Pelengkap Nawaksara ditulis oleh Soekarno. Dalam jawabannya, Soekarno menulis bahwa G-30 S adalah sebuah complete overrompeling bagi dirinya. Mengenai tuduhan bahwa dirinya sama sekali tak pernah mengutuk peristiwa G-30 S, Soekarno jelas-jelas menampik. Dalam pidato 17 Agustus 1966, tulis Soekarno, “Saya berkata ‘sudah terang Gestok kita kutuk’. Dan saya mengutuknya pula. Dan sudah berulang-ulang kali pula saya katakan dengan jelas dan tandas, bahwa yang bersalah harus dihukum! Untuk itu kubangunkan MAHMILLUB.”
Setelah Soekarno memberikan Pelengap Nawaksara, terjadilah perubahan dalam komposisi anggota DPR-GR dan MPRS pada Februari 1967 seiring dengan masuknya 45 anggota baru dari kalangan partai dan 63 orang dari Golkar. Kehadiran 108 anggota baru itu yang mayoritas anti-Soekarno itu jelas makin menyulitkan posisi Soekarno. Dan begitulah yang memang terjadi. Pada 14-16 Februari 1967, Badan Pekerja MPRS menolak Pelengkap Nawaksara.
Posisi Soekarno ketika menyusun Pelengkap Nawaksara memang dilematis. Jika tidak memberikan jawaban seperti yang diminta MPRS, dia bisa didakwa melanggar konstitusi, mengingat posisi Presiden sebagai mandataris MPRS. Tetapi, walaupun dia telah menyusun Nawaksara dan pelengkapnya sesempurna mungkin, posisi dia tetap saja terancam, mengingat komposisi MPRS sudah dipenuhi oleh orang-orang yang memang anti-Soekarno. Soekarno paham, maju atau tidak, pertangungjawabannya tetap akan ditolak oleh MPRS. Soekarno, seperti yang sudah dipaparkan di atas, memilih untuk memberikan Pelengkap Nawaksara.
34 tahun kemudian, MPR juga menggelar Sidang Istimewa (sama dengan penolakan MPRS atas Nawaksara) menyusul penolakan MPR terhadap tanggapan Presiden Abdurrahman Wahid atas Memorandum I dan II yang dilayangkan ke Istana. Abdurrahman Wahid, seperti juga Soekarno, tahu benar bahwa datang atau tidak dirinya ke Senayan untuk memberikan Pertanggungjawaban, MPR tetap akan memberhentikannya.
Posisi Soekarno ketika menyusun Pelengkap Nawaksara memang dilematis. Jika tidak memberikan jawaban seperti yang diminta MPRS, dia bisa didakwa melanggar konstitusi, mengingat posisi Presiden sebagai mandataris MPRS. Tetapi, walaupun dia telah menyusun Nawaksara dan pelengkapnya sesempurna mungkin, posisi dia tetap saja terancam, mengingat komposisi MPRS sudah dipenuhi oleh orang-orang yang memang anti-Soekarno. Soekarno paham, maju atau tidak, pertangungjawabannya tetap akan ditolak oleh MPRS. Soekarno, seperti yang sudah dipaparkan di atas, memilih untuk memberikan Pelengkap Nawaksara.
34 tahun kemudian, MPR juga menggelar Sidang Istimewa (sama dengan penolakan MPRS atas Nawaksara) menyusul penolakan MPR terhadap tanggapan Presiden Abdurrahman Wahid atas Memorandum I dan II yang dilayangkan ke Istana. Abdurrahman Wahid, seperti juga Soekarno, tahu benar bahwa datang atau tidak dirinya ke Senayan untuk memberikan Pertanggungjawaban, MPR tetap akan memberhentikannya.
Kali ini, Abdurrahman Wahid memilih untuk “bertarung habis-habisan”. Dia menolak datang ke Senayan dan menyebut Sidang Istimewa MPR 2001 itu sebagai inkonstitusional. Malamnya, dia mengeluarkan Dekrit Presiden yang terbukti mandul. Kendati jalan yang diambil Soekarno dan Abduraahman Wahid berbeda dalam menyikapi penolakan MPR terhadap dirinya, ending yang mereka alami akhirnya sama.
Sejarah kembali berulang.
Taufik Rahzen
Sejarah kembali berulang.
Taufik Rahzen
No comments:
Post a Comment