JURNAL REPUBLIK
1 September 1961
Berdirinya Nonblok
PIDATO pertama Soekarno pada Konferensi Belgrade, Yugoslavia, 45 tahun lalu, menandai pertemuan historis berdirinya gerakan nonblok. Politik internasional mulai dimasuki kekuatan baru yang memperoleh momentumnya sejak Konferensi Asia Afrika Bandung 1955. Dua puluh lima negara hadir dalam konferensi yang membawa agenda jalan tengah, di antara polaritas perang dingin Amerika Serikat dan Uni Soviet. Sementara Brazil, Bolivia, dan Ekuador bertindak sebagai partisipan.
1 September 1961
Berdirinya Nonblok
PIDATO pertama Soekarno pada Konferensi Belgrade, Yugoslavia, 45 tahun lalu, menandai pertemuan historis berdirinya gerakan nonblok. Politik internasional mulai dimasuki kekuatan baru yang memperoleh momentumnya sejak Konferensi Asia Afrika Bandung 1955. Dua puluh lima negara hadir dalam konferensi yang membawa agenda jalan tengah, di antara polaritas perang dingin Amerika Serikat dan Uni Soviet. Sementara Brazil, Bolivia, dan Ekuador bertindak sebagai partisipan.
Gagasan pertemuan dimulai dari undangan tiga serangkai: Presiden Yugoslavia Jozef Broz Tito dari Eropa, Presiden Soekarno dari Asia, dan Presiden Gamal Abdul Naser dari Mesir yang mewakili Afrika. Dalam perkembangannya, PM Nehru dari India dan Pemerintah Afganistan ikut bergabung sebagai pengundang. Sebuah pertemuan pendahuluan yang disebut Conference of the Uncommitted Countries diselenggarakan di Kairo pada 5 Juni 1961 yang telah menyepakati beberapa isu utama untuk dibicarakan.
Namun, pertemuan lebih hangat dari yang diperkirakan. Setelah pidato pembuka dan penyambut dari Presiden Tito, Presiden Soekarno membuka pertemuan historis ini dengan seruan yang retorik ;’’ … nonblok tidaklah berarti bersikap netral. Bukanlah sikap menarik dari keriuhan persoalan dan memilih netral dari akibat-akibat perang, kebijakan tanpa aliansi bukanlah kebijakan netral yang tak memiliki warna, menjadi nonblok tidaklah berarti hanya menjadi penyangga dari dua kekuatan besar. Menjadi nonblok berarti bertindak aktif untuk mempertahankan independensi, meraih perdamaian, memperjuangkan keadilan sosial, dan kebebasan untuk mencapai rasa bebas….’’
Gaya sambutan Soekarno yang teatrikal dan retorik, memperoleh aplaus berkali-kali dan segera menghangatkan suasana. Dengan mengambil contoh pengalaman revolusi Indonesia dan spirit Bandung Asia Afrika, tak segan-segan Presiden menegaskan bahwa situasi telah mendesak, dan semuanya harus bertindak sebelum perang akan memusnahkan semuanya. “Kita harus mampu terbang mengatasi kesulitan dan rasa pelik ini. Kita menghadapi persoalan-persoalan baru, karena itu kita harus berpikir baru, bertindak baru, membentuk baru, dan mereka-bentuk baru… dan melalui tindakan inilah kita berharap pertemuan ini akan memanen buahnya.’’
Sejak konferensi Belgrade inilah, nonblok lahir sebagai kekuatan politik nyata. Meski peranannya mengalami pasang surut dalam dasawarsa terakhir, gerakan ini mengilhami munculnya berbagai pandangan normatif dalam politik internasional dengan diperkuatnya peranan lembaga-lembaga internasional, khususnya PBB. Dengan berakhirnya Perang Dingin, maka berakhir pula posisi strategis nonblok.
Sejak konferensi Belgrade inilah, nonblok lahir sebagai kekuatan politik nyata. Meski peranannya mengalami pasang surut dalam dasawarsa terakhir, gerakan ini mengilhami munculnya berbagai pandangan normatif dalam politik internasional dengan diperkuatnya peranan lembaga-lembaga internasional, khususnya PBB. Dengan berakhirnya Perang Dingin, maka berakhir pula posisi strategis nonblok.
Apa yang kini terjadi dengan negara-negara pemrakarsa nonblok? Yugoslavia telah meleleh sebagai negara sekaligus menjadi simbul surutnya peran nonblok. Meskipun tetap sebagai negara besar di Afrika, Mesir mulai kehilangan pengaruhnya di Negara-negara Arab, India sedang bangkit menjadi negara industri baru, Afganistan dalam tahap memulihkan diri dari peperangan dramatis dari dua blok yang memicu berakhirnya Perang Dingin.
Indonesia sendiri, kini menjadi salah satu negara demokratis terbesar, dan dengan caranya sendiri sedang merumuskan pola bebas-aktifnya di dunia internasional. Namun, satu hal yang sama dari negara-negara pemrakarsa adalah tendensi sosialis dalam semua pemerintahan saat itu, kini justru mengambil jalur yang sebaliknya.
Taufik Rahzen
No comments:
Post a Comment